KAMI BERDIRI DIATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN

LEADERSHIP (KEPEMIMPINAN)

LEADERSHIP


Kepemimpinan atau leadership adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi.Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan pengajaran/instruksi.
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin.Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994 : 181).

1.2              Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Leadership
Hersey dan Blanchard (1988) mengajukan semacam formula bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.
k = f (p, b, s).
Bertolak dengan pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dan pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s), yang dapat dinotasikan dalam bentuk formula :

Pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dan suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan.Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini.Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) adalah suatu keadaan di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
Selain Hersey dan Blanchard, para ahli yang membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan adalah Theodore J. Kowalski, Thomas J. Lasley II, James W. Mahoney (2008).Ketiga ahli ini memandang kepemimpinan dipengaruhi oleh tiga lingkaran variabel, yaitu variabel individu, organisasi, dan sosial. Seperti tampak pada gambar berikut:
Keputusan tentu diambil oleh individu.Akan tetapi keputusan itu tidaklah murni disebabkan oleh kehendak individu tersebut, tetapi ada pengaruh dari faktor organisasi kemudian faktor sosial yang melikupi individu tersebut.Kowalski dkk.(2008: 25-46) menguraikan factor – factor dalam tataran individu, organisasi, dan sosial. Pada tataran individu, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah pengetahuan dan keterampilan, karakteristik pribadi, nilai-nilai yang diyakini, penyimpangan, dan gaya dalam membuat keputusan. Variabel organisasi mencakup iklim dan budaya, politik organisasi, ancaman dan resiko, Ketidak-pastian, kerancuan, dan pertikaian. Sedangkan yang mencakup variabel sosial adalah kebutuhan resmi, meta value, politik, dan ekonomi.
Dengan pola dikotomi, berdasarkan formula Hersey dan Blanchard serta penjelasan yang dikemukakan Kowalski dkk.di atas, penulis bisa membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan menjadi dua faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang muncul dari diri pemimpin, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik bawahan dan situasi.Termasuk didalamnya situasi organisasi dan sosial.
1. Faktor Internal
Sebagai seorang pribadi, pemimpin tentu memiliki karakter unik yang membedakannya dengan orang lain. Keunikan ini tentu akan berpengaruh pada pandangan dan cara ia memimpin. Ada karakter bawaan yang menjadi ciri pemimpin sebagai individu, ada kompetensi yang terbentuk melalui proses pematangan dan pendidikan. Menurut Mustodipradja, dengan mengutip Rothwell dan Kazanas, kompetensi pemimpin merupakan cerimanan kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dan Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept.knowledge, dan skill. Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi.
Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan.Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan.Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya.Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu.Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dengan mengutip pendapat Spencer (1993) dan Kazanas (1993), Asropi menjelaskan bahwa kompetensi kepemimpinan secara umum dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial. Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty.
Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty,relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Asropi meyakinkan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknis maupun manajerial. Dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer, kunci dan kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan “status quo” dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin din yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal jika dikaitkan dengan formula Hersey dan Blanchard, adalah faktor bawahan dan situasi.Faktor bawahan adalah faktor yang disebabkan oleh karakter bawahan, di dalamnya terkait dengan status sosial, pendidikan, pekerjaan, harapan, ideologi, agama dll. Faktor-faktor itu tentu akan menentukan bagaimana pemimpin mengatur dan mempengaruhinya. Jika bawahan itu adalah siswa, maka pemipimpin akan menjalan pola kepemimpinan sesuai dengan karakter siswa. Karakter siswa pun akan berbeda-beda, ada yang belum dewasa sehingga pemimpin mendekatinya dengan pendekatan pedagogi, ada pula siswa yang sudah dewasa sehingga memerlukan pendekatan andragogi.
Faktor eksternal lain adalah faktor situasi. Situasi ini berkaitan dengan aspek waktu, tempat, tujuan, karakteristik organisasi dll. Bertalian dengan waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan mempengaruhi cara pandang dan budaya manusia. Perkembangan itu berdampak pula pada perubahan konsep kepemimpinan.Hasbi Umari (2006:1-4) memaparkan bahwa ada perkembangan dalam kepemimpinan dilihat dari konteks sosial umat Islam.
Menurut Umari, Ada tiga fase dalam periodesasi kepemimpinan umat di Indonesia. Setiap fase menunjukan genesis kepemimpinan yang khas.Pertama, fase ulama. Pada fase ini, seseorang menjadi pemimpin umat karena is memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan menjadi rujukan umat. Ia melewati masa awal hidupnya di pesantren sebagai santri dan menghabiskan sisa hidupnya jugs di pesantren sebagai kiyai.
Kedua, fase organisator. Sebagai reaksi terhadap kebijakan politis kolonial, mungkin antara lain politik etis, masyarakat khususnya umat Islam membentuk organisasi (sosial, ekonomis, atau politis) seperti Syarikat Islam, Muhanunadiyah, NU, Persis, Jami`atul Khair, dan lain-lain. Pada fase ini, pemimpin Islam adalah pemimpin organisasi Islam.Tentu raja, karir kepemimpinan kini tidak dimulai di pesantren, tetapi dari organisasi.Orang menapak, secara berangsur-angsur atau melompat, hierarki organisasi.Variabel kepemimpinan yang utama tidak lagi pengetahuan agama yang mendalam, tetapi keterampilan organisasi (organization skill), termasuk lobbying dan kasak kusuk.Yang sampai ke tingkat nasional, melalui jenjang organisasi, pada umumnya, walaupun tidak selalu, adalah orang yang mempunyai pijakan loka1.
Fase ketiga, fase pemuka pendapat (opinion leader).Pada fase pertama, pemimpin ulama lahir dan dibesarkan di pesantren.Pada fase kedua, pemimpin organisator lahir dan dibesarkan di organisasi. Dan bagaiinana pula dengan pemimpin umat di besarkan melalui media massa..Ini adalah dampak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak pada kepemimpinan umat. Pada fase ini yang dianggap sebagai pemimpin umat adalah para empu yang (dianggap) pandai melontarkan isu-isu penting untuk dijadikan agenda media massa. Mereka menulis di media, atau menghadiri berbagai seminar dan diskusi. Atau, mereka mampu menyedot massa yang banyak dalam acara-acara mereka. Apabila media massa yang mengagendakan isu-isu mereka itu lokal, mereka menjadi pemimpin umat berskala lokal. Apabila medianya nasional, merekamenjadi pemimpin umat berskala nasional.
Pengikut fase pertama, santri; fase kedua, anggota organisasi; fase ketiga, “fans” (penggemar).Pada fase ketiga, pemimpin umat (Islam) menjadi “idola”. Ada dua jenis pemimpin umat pada fase ketiga ini’ yaitu: Pertama, mubalig. Ia mungkin memulai kariemya pada tingkat lokal. la berbicara pada majelis-majelis taklim atau stadiun radio. Ceramahnya direkam, dan rekamannya direproduksi dan dijual secara nasional. Media massa menyiarkan ceramahnya dan menokohkannya. Tidak perlumubaligituberasal dan pesantren; tidak perlu ia menguasai pengetahuan agama yang mendalam; juga tidakperlu ia memiliki keterampilan komunikasi, termasulc ketnampuan menyiarkan agama sebagai pop culture. Karena digemari oleh orang banyak, para mubaligh menjadi celebrities. Dunia celebrities sudah lama dihuni oleh para entertainers, misalnya artis, pelawak, dan perancang mode. Maka, terjadilah tumpang tindih; mubaligh menjadi artis, artis menjadi mubaligh.Kedua, cendekiawan.Apabila mubaligh lebih banyak menyentuh ranah afektif, cendekiawan bergerak di ranah kognitif.Ia dibesarkan lewat kerja sama kampus dengan media massa. Melalui tulisan di media, seminar, dan diskusi, paracendekiawan membentukjanngan pengikulnya Bukanmenuduh, umumnya pengetahuan agama mereka sangat dangkal.Akan tetapi, analisis mereka tentangpersoalan-persoalan umat sangat tajam.Mereka membentuk opini, sikap, dan akhimya tindakan umat.
Perkembangan Zaman pun memperlihatkan bahwa ada tiga liran teori kepemimpinan yang mengalami perubahan pandangan seiring dengan waktu .Studi kepemimpinan yang pada awal perkembangannya cenderung bersifat induktif murni menempati posisi sentral dalam literatur manajemen dan perilaku keorganisasian pada beberapa dekade terakhir.
Secara umum kajian perkembangan riset dan teori kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi tiga tahap penting.Pertama, tahap awal studi tentang kepemimpinan menghasilkan teori-teori sifat kepemimpinan (trait theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang membedakannya dari mereka yang bukan pemimpin.Kedua, karena muncul kritik terhadap sulitnya mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul teori-teori perilaku kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini penekanan yang semula diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku dan gaya yang dianut oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, agar organisasi dapat berjalan secara efektif, terdapat penekanan terhadap suatu gaya kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan anggapan, bahwa baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku kepemimpinan memiliki kelemahan yang sama yaitu mengabaikan peranan penting faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situational theories). Dan pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi perubahan orientasi dari `one best way leading’ menjadi ‘context-sensitive leadership’ (Dewi, Piramida Vol.V no.1, 2009).
Dilihat dari faktor tempat pun, konsep kepemimpinan pun akan berubah. Dilihat dari cakupannya, kita bisa mengkategorikan kepemimpinan lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Semakin luas cakupan kepemimpinan akan berdampak pada tuntutan nilai-nilai universal yang lebih luas. Semakin sempit cakupan (lokal bahkan pada level organisasi) akan muncul tuntutan warna loka sesuai dengan kultur masayarakat setempat. Tulisan La Ode Turi (Budaya Kepemimpinan Lokal dalam Pelaksanaan MBS, Universitas Kendari) dan Tulisan Dewi Kurniasih (Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Unikom Bandung) merupakan contoh pendapat bahwa kepemimpinan di wilayah lokal, harus memperhatikan aspek budaya lokal jika kepemimpinan itu ingin efektif.
Agama dan ideologi pun tentu berpengaruh terhadap kepemimpinan. Komunitas masyarakat Islam, tentu akan menggunakan nilai-nilai Islam dalam penyusunan konsep dan aplikasi kepemimpinannya. Demikian pula masyarakat Kristen, Budha, dll. Ideologi komunis akan menjalankan kepemimpinan dengan ideologi komunis, demikian pula ideologi liberal.

1.3              Macam – Macam Leadership
Tipe atau macam kepemimpinan sangatlah unik untuk dibicarakan, karena dari sini kita bisa menelisik lebih jauh tipe kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin.Ada banyak sekali tipe kepemimpinan yang saya sebutkan.Untuk lebih jelasnya simaklah keterangan di bawah ini.

Secara umum tipe kepemimpinan dapat digolongkan menjadi tipe,yaitu :
·         Tipe Otoriter : Tipe kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan kepentingan anggota kelompok sama sekali. Keputusan senantiasa berada ditangan pemimpin, anggota kelompok ederung dijadikan sebagai alat untuk mengekploitir tujuan kelompok semata, sehingga tipe ini mempunyai kekuasaan absolute.
·         Tipe Laizess Faire : Tipe Laizess faire ini memberikan kebebasan yang terlalu luas bagi anggota kelompok, sehingga kelompok seolah-olah  tidak mempunyai seorang pemimpin, sehingga anggota kelompok cenderung memperlihatkan perilaku agresif yang tinggi.
·         Tipe Demokratis : Tipe demokratis merupakan pola kepemimpinan yang sama mementingkan tercapainya tujuan kelompok seoptimal ,mungkin dengan mengikuti sertakan seluruh partisipasi anggota, daya dan segenap kemampuan tanggung jawab bersama. Itulah sebabnya ciri utama gaya kepemimpinan ini adalah pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pemimpin pada sejumlah anggota, tanpa mengurangi partisipasi dan tanggung jawab terhadap kelompok secara keseluruhan.

Tipe Kepemimpinan Menurut Blake dan Mouton :
1.      Tipe Improverished
Merupakan perilaku kepemimpinan dengan segala tindakannya yang kurang berkualitas baik ditinjau dari segi kerjsamanya dengan anggota kelompok maupun dari segi pencapaian tujuan kelompok itu sendiri.Kepemimpinan seperti ini dapat disebut sebagai kepemimpinan plinplan.
2.      Tipe Ujung tombak Kelompok
Kepemimpinan yang menganggap faktor manusia sebagai robot pekerja tujuan kelompok.Ciri-cirinya adalah kejam, mengeksplottir anggota kelompok, tidak manusiawi, menstruktur batas waktu kerja tak terbatas, memberikan sangsi beret terhadap kegagalan dan kelalaian, bertipe hubungan impersonal.
3.      Tipe Manusiawi
Merupakan pemimpin yang sangat mementingkan keharmonisan hubungan antar pribadi sesama anggota dan mengesampingkan tujuan utama kelompok.Cirinya adalah sangat menghargai eksis-tensi individu sebagai pribadi bersikap lunak, rumah dan penuh kesopanan, penampilan sebagai manusia (penyayang manusia), rela berkorban demi kepentingan anggota, punya tenggang rasa yang tinggi.
4.      Tipe Team Builder
Tipe ini sangat mementingkan tujuan dan keharmonisan hubungan sosial anggota kelompok.Target tujuannya harus tercapai dan hubungan sosial tetap terbina, harmonis dan penuh keakraban.Tipe ini adalah yang paling baik dan tidak perlu disangsikan lagi efektivitasnya, apalagi bila digabungkan dengan pola pendekatan situasional.
5.      Tipe The Middle of the Roader
Tipe ini membuat perilaku perimbangan antara tujuan dan hubun­gan sosial anggota kelompok. Keduanya sama dianggap penting dan perlu dicapai secara bersamaan. Tipe ini tidak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan demokratis kalau tidak boleh dikatakan identik.


1.4  Kaitan Leadership dengan Wirausaha
Hubungan Kewirausahaan dan Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) merupakan salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Kepemiminan bagi seorang wirausahawan tidak hanya digunakan untuk memimpin pihak-pihak yang terlibat dalam merealisasikan usahanya, namun ia juga harus dapat memimpin dirinya sendiri sehingga mampu mecapai tujuan yang diinginkan.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mencapai tujuan organisasi/perusahaan. Kemampuan untuk mempengaruhi tersebut  dibentuk melalui sikap-sikap dan perilaku kepemimpinan.
Beberapa teori tentang kepemimpinan:
Trairts theory merupakan teori yang menganalisa sikap-sikap kepemimpinan yang berkaitan dengan aspek kepribadian, sosial, fisik, atau sikap-sikap intelektual yang membedakan seseorang yang menjadi pemimpin dan bukan pemimpin. Adapun sikap-sikap kepemimpinan tersebut meliputi:
·         Ambisi dan energi (ambition and energy)
·         Keinginan untuk memimpin (desire to lead)
·         Kejujuran dan integritas (honesty and integrity)
·         Percaya diri (self-confidence)
·         Pandai (intelligent)
·         Memiliki pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan yang dipimpinnya (job-relevant knowledge)
Namun demikian, teori yang membahas mengenai sikap-sikap kepemimpinan tersebut memiliki keterbatasan, yang meliputi:
·         Tidak ada sikap yang universal untuk memprediksi kepemimpinan dalam segala situasi.Artinya, sikap-sikap kepemimpinan tersebut mungkin tidak sesuai diterapkan ada kondisi tertentu.
·         Sikap-sikap tersebut memprediksi perilaku kepemimpinan dalam situasi yang “lemah” atau stabil bukan situasi yang “kuat” atau dinamik.
·         Bukti hubungan sebab akibat antara kepemimpinan dan sikap seorang pemimpin belum jelas.
·         Sulit membedakan dan menilai apakah sikap kepemimpinan seseorang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain karena pengaruh situasi dan kondisi berbeda.
Selain teori tentang trait leadership, untuk menganalisis perilaku kepemimpinan ada beberapa teori atau pemahaman lain, yaitu behavioral theory yaitu teori yang mengulas perilaku khusus yang membedakan seseorang  pemimpin dengan mereka yang bukan pemimpin.
Perbedaan mendasar antara trait theory dnegan behavioral theory adalah bahwa pada trait theory seorang pemimpin terlahir sebagai pemimpin, tidak  dapat dibentuk (leaders are born, not made). Sedangkan pada behavioral theory menyatakan bahwa sikap-sikap kepemimpinan dapat dipelajari (leadership traits can be taught).
Beberapa hasil studi mengenai kepemimpinan:
Studi di University Michigan, menyatakan bahwa ada dua jenis kepemimpinan yait:
·         Employee-oriented leader: pemimpin yang menekankan pada hubungan interpersonal (hubungan antarmanusia); memiliki ketertarikan pada kebutuhab karyawan dan mampu menerima perbedaan di antara anggotanya
·         Product-oriented leader: seseorang pemimpin yang menekankan pada aspek teknis dan tugas-tugas yang harus diselesaikan dalam pekerjaan.
·         Studi Skandinavia, menghasilkan pemahaman mengenai development-oriented leader yaitu pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melakukan percobaan (eksperimen), mencari ide-ide baru, dan menciptakan derta melaksanakan perubahan (change).
Selain teori mengenai traits leadership dan behavioral leadership terdapat pula teori kepemimpinan yang bersifat situasional yang disebut dengan contingency theories: Fiedler’s Model. Teori ini menyatakan bahwa kelompok kerja yang efektif tergantung dari kesesuaian gaya kepemimpinan pemimpin dengan anak buahnya yang mempertimbangkan situasi atau keadaan yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain, keberhasilan seseorang pemimpin ditentukan oleh bagaimana ia dapat memimpin kelompoknya dengan gaya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Menurut Model Fiedler, terdapat tiga hal yang mempengaruhi situasi seorang pemimpin, yaitu:
·         Leader-member relations, yaitu tingkat kepercayaan diri (confidence), kepercayaan (trust), dan penghargaan (respect) dari bawahan kepada pemimpinannya.
·         Position power, yaitu pengaruh yang dihasilkan oleh seseorang karena posisi struktural formal di dalam organisasi; meliputi kekuasaan seorang pemimpin untuk mempekerjakan dan memberhentikan karyawan (hire and fire), disiplin, mempromosikan karyawan, dan memberikan gaji.
·         Task structure , yaitu tingkat pembagian kerja dan penyusunan prosedur kerja.
Implementasi dari pemahaman situasi ini adalah sebagai berikut:
Jika hubungan antara pemimpin dan anggota (leader –member relations) baik, tugas didelegasikan dengan baik, dan kekuasaan struktural berjalan dengan baik, maka kinerja perusahaan akan membaik.
Sebaliknya ada kondisi dimana anggota tim kerja (bawahan) tidak dapat menjalankan tugas dengan baik sehingga kinerja perusahaan menjadi buruk, maka seorang pemimpin harus dapat mengkombinasikan gaya kepemimpinan mana yang harus ditingkatkan. Jika kinerja tim dalam menyelesaikan pekerjaan kurang, maka aspek task structure harus ditingkatkan. Namun, jika motivasi kerja kurang, pemimpin dapat meningkatkan aspek leader-member relations. Demikian seterusnya, ketiga hal ini dapat digunakan untuk memimpin anggotan tim kerja agar dapat bersama-sama mencapai tujuan perusahaan.
Dalam menjalankan perusahaan, seorang pemimpin atau anggota tim kerja terkadang menemui tekanan-tekanan atau (stress).  Menghadapi hal ini, seorang pemimpin tetap dapat menerapkan teknik kepemimpinan yang akan membawa perusahaan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Teori yang mendukung kondisi ini adalah cognitive resource theory, yaitu teori kepemimpinan yang menyatakan bahwa stress dapat mempengaruhi situasi sehingga keahlian dan pengalaman yang dimiliki seseorang akan mengurangi pengaruh stress yang terjadi.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa:
·         Pemimpin yang memiliki keahlian yang tinggi, biasanya akan dapat memimpin perusahaan dengan baik walaupun menghadapi tingkat stress yang tinggi.
·         Pemimpin yang memiliki pengalaman yang tinggi akan mampu memimpin perusahaan dengan tingkat stress  yang tinggi.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut, terdapat pula teori dari Hersey and Blanchard’s Situational Leadership yang memfokuskan pada kesiapan pengikut (anggota tim/anakbuah) dalam menghadapi situasi.
Teori lain yang berkaitan dengan hubungan antara sikap anak buah dan pemimpin adalah:
·         Path-Goal Theory yaitu teori yang menyataan bahwa pekerjaan seorang pemimpin adalah membantu anak buahnya untuk mencapai tujuan dan menyediakan arahan untuk mendukung dan menjamin tujuannya agar sejalan dengan tujuan kelompok atau perusahaan.

·         Leader-participation model, yaitu teori yang menyediakan seperangkat aturan untuk menentukan bentuk dan jumlah pengambilan keputusan yang dapat diambil bersama dalam situasi yang berbeda. Artinya, selan seorang pemimpin dapat mengambil keputusan secara independent, ada kalanya untuk situasi tertentu ia dapat melibatkan anggota timnya dalam proses pengambilan keputusan.

0 comments:

Klik Disini

Klik Disini